Dec 16, 2024

, ,

Merangkai Sebuah Kisah dalam Ruang Tak Bersekat di Kota Tepian

"Apa yang menyatukan banyak orang? Tentara? Emas? Bendera? Cerita. Tidak ada di dunia ini yang lebih kuat dari cerita yang bagus. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak ada musuh yang bisa mengalahkannya."


Itulah salah satu monolog yang diberikan oleh Tyrion Lannister dalam seri terakhir Game of Thrones. Itu juga menjadi kalimat terbaik yang pernah saya dengar tentang topik bercerita. Di mana kekuatan sebuah cerita mampu menjadi mitos dasar yang hebat, bahkan tak jarang seseorang rela mengorbankan segala hal demi cerita yang dipercayainya kan?

Kekuatan sebuah cerita telah ditunjukkan dan berlangsung selama berabad-abad. Sedari kecil saya telah diceritakan tentang banyak hal baik dan buruk serta mana hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pengetahuan, adat-istiadat, dan norma atau kode etik telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui cerita lisan bahkan jauh sebelum keberadaan cerita tertulis.

Indonesia, belahan bumi yang kita pijaki ini merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan budaya. Setiap cerita individu seperti seulas warna, dan cerita dari seluruh budaya akan membentuk warna-warni bak pelangi yang indah. Cerita kolektif dari semua budaya yang membentuk pelangi tadi akan menghadirkan pemandangan yang mempesona dan mampu menarik pandangan semua orang pada satu tujuan yang sama.

Ketika budaya diterima lalu diserap pada akhirnya akan menjadi sebuah petunjuk atau pandangan hidup yang kita jalani. Sebagai contoh, kita mungkin tidak pernah mengalami rasanya disambar petir, tapi kita semua seolah tahu kalau disambar petir itu rasanya seperti terkena setrum jutaan volt. Karena apa? Ya, tentu karena sebuah cerita kan?

Sebagai manusia yang kecanduan cerita, saya pun menghabiskan hari-hari untuk menceritakan kisah saya sendiri maupun mendengarkan cerita orang lain. Nah, dalam tulisan ini saya akan membagikan sebuah cerita yang tumbuh dengan apik di sudut kota dan berhasil menjuarai pengalaman paling istimewa dalam hidup saya.

Bagaimanakah cerita itu bermula?


Memulai perjalanan sebagai pengembara di Kota Tepian

Sungai Mahakam yang memisahkan antara Samarinda Kota dan Samarinda Seberang

Saya lahir dan tumbuh di desa Sumber Sari, salah satu desa di pedalaman Kalimantan Timur. Perjalanan itu dimulai usai saya menyelesaikan pendidikan SMA lalu muncul dorongan untuk melanjutkan pendidikan di kota. Terhitung sudah 6 tahun sejak 2015 hingga kini saya telah membawa langkah kaki ini bergerak sebagai seorang perantau dan tinggal berjauhan dengan saudara dan orangtua.

Samarinda atau yang dikenal dengan Kota Tepian menjadi pilihan saya kala itu. Dijuluki Kota Tepian karena letaknya yang dilewati oleh Sungai Mahakam yang merupakan salah satu sungai terpanjang di Indonesia. Karena dilewati oleh sungai, Samarinda terbagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah Samarinda seberang dan wilayah Samarinda kota atau cukup disingkat dengan sebutan samseb dan samkot.

Untuk menuju masing-masing wilayah tentu harus melewati sebuah jembatan. Dan jika dahulu hanya satu jembatan, kini daerah samseb dan samkot telah dihubungkan dengan sepasang jembatan yang letaknya berdampingan sehingga dikenal dengan sebutan jembatan kembar.

Bisa dibilang Kalimantan Timur merupakan pusatnya daerah rantau. Sebab, selain suku Dayak dan Kutai sebagai penduduk asli, para pendatang dari berbagai daerah kini turut memenuhi  daratan di seluruh wilayah baik perkotaan maupun pedesaan Kaltim.

Bangunan megah rumah ibadah umat Kristiani dan Muslim di Jl. Jend. Sudirman

Di Kota Tepian sendiri masyarakat dari berbagai suku, budaya dan agama saling membaur dan hidup berdampingan satu sama lain. Bahkan banyak di antaranya yang sulit membedakan mana masyarakat suku Jawa, Banjar, Bugis, Toraja dan lain sebagainya. Ketika ditanya pun banyak dari mereka yang kesulitan menentukan jenis sukunya. Salah satu teman saya bahkan kerap menyatakan dirinya sebagai suku Baja (Banjar-Jawa) sebab orangtuanya berasal dari dua suku yang berbeda. Ada pula yang menyatakan dirinya sebagai suku Dabuja (Dayak-Bugis-Jawa).

Yah, walaupun hanya dalam konteks bercanda, karena pada akhirnya mereka akan menyebutkan satu jenis suku yang paling dominan pada dirinya atau jika ingin lebih mudahnya lagi mereka cukup menyatakan “saya Indonesia.”

Di tengah Kota Tepian ini saya seperti menyelam lalu menemukan hal-hal menarik di setiap kecipak air yang saya lalui. 


Bisakah toleransi tumbuh tanpa harus dipaksakan dan memaksakan?

Singkatnya setelah menyelesaikan pendidikan saya diterima bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Dan di sinilah tempat kami dipertemukan. Saya dengan rekan kerja yang berasal dari berbagai suku, budaya dan agama. 

Dari kanan Enu, Afni, dan Nasri

Salah satunya adalah mereka yang berasal dari Kabupaten Manggarai, sebuah wilayah di Pulai Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mendarat ke Kota Tepian dengan tujuan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Sama seperti yang saya rasakan, pada awalnya keputusan meninggalkan kehidupan bersama keluarga dan teman di kampung halaman merupakan pilihan yang sulit. Namun, kehidupan merantau ternyata tidak semenyeramkan yang dibayangkan. Bahkan sebagian orang justru menikmati kehidupan baru yang menyenangkan. Meski tidak dapat dipungkiri, suka duka kerap muncul terlebih lagi bagi mereka yang berasal dari pulau yang begitu jauh.

Suasana ketika menunggu banjir surut

Salah satunya adalah ketika Kota Tepian diguyur hujan deras hingga menyebabkan banjir. Akses jalan terputus, barang-barang dan kontrakan terendam air sehingga tidak memungkinkan untuk ditinggali. Mendadak teman-teman lain dengan sukarela akan menawarkan tempat peristirahatan sementara sembari menunggu banjir kembali surut.

Suatu ketika saya pun pernah terjebak banjir hingga nyaris hanyut bersama motor yang saya kendarai akibat derasnya arus yang mengalir. Tidak sampai disitu, motor yang saya kendarai tadi pun mogok. Dibantu beberapa orang saya berjuang mendorong motor hingga ke tepi. Di saat itulah saya menelepon salah satu rekan saya berharap ada yang bisa membantu. Dan tanpa disangka, tidak hanya satu orang, mereka datang bak segerombolan pahlawan yang siap berperang.

Jadi bukankah rasa peduli bisa muncul dari siapa saja dan kepada siapa saja? Salah satu wujud dari toleransi itu telah tumbuh tanpa dipaksakan dan memaksakan. Sebab, tanpa memandang latar belakang rasa peduli itu rupanya telah bersemi dengan sendirinya di tengah-tengah kita.


Tak kenal maka tak sayang: obat mujarab untuk memutus rantai intoleransi

Kebersamaan segenap perusahaan

Pada moment-moment tertentu, Bapak dan Ibu, sebutan kami untuk atasan, mengungkapkan bahwa selalu menyenangkan melihat keragaman yang ada di perusahaan ini. Bapak dan Ibu sangat bersyukur memiliki begitu banyak karyawan yang pekerja keras hingga menjadikan perusahaan semakin lebih baik setiap harinya.

Kebetulan atasan saya merupakan sepasang suami istri keturunan Chinese. Tak dapat dipungkiri, mengetahui hal itu pada awalnya membuat kedua orangtua saya agak terkejut. Meskipun tidak mengatakan apa-apa tetapi saya bisa merasakan bahwa prasangka negatif memang masih mengakar di sebagian pikiran masyarakat Indonesia. Seperti anggapan bahwa mayoritas masyarakat yang berasal dari keturunan Chinese sangat perhitungan.

Lagi-lagi ini adalah wujud nyata dari kekuatan sebuah cerita. Sebuah cerita dapat menyatukan perbedaan, namun di satu sisi sebuah cerita juga dapat memisahkan satu sama lain. Merupakan hal yang wajar ketika manusia memiliki penilaian antar sesamanya, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana jika penilaian itu negatif yang kemudian bakal menimbulkan diskriminasi? Padahal, orang yang memiliki prasangka buruk itu tadi belum tentu mengenal sosok yang mereka nilai tersebut.

Ada satu kejadian yang paling saya ingat tentang kedermawanan Bapak dan Ibu. Suatu ketika ada satu orang yang berasal dari Timor bernama Berto melamar pekerjaan di perusahaan kami. Namun sangat disayangkan karena Berto tidak fasih berbicara dengan bahasa Indonesia. Bapak dan Ibu pun sangat kesulitan untuk mengerti maksudnya kala itu. Alhasil beliau meminta salah satu karyawan yang berasal dari satu suku dengan Berto untuk menjadi translator mereka. Dan tanpa saya sangka Berto diterima bekerja sebagai helper di perusahaan kami. Bapak dan Ibu berpesan kepada kami untuk sering-sering mengajaknya berinteraksi agar Berto cepat menguasai bahasa Indonesia sehingga lebih mudah jika ingin berkomunikasi.

Melihat kejadian tersebut, saya pun langsung terpikir pada satu peribahasa, “Tak kenal maka tak sayang.” Kalimat itu sudah populer sejak dulu, bahkan mungkin sudah sering kita baca dan dengar berulangkali. Peribahasa tersebut adalah obat mujarab untuk memutus rantai intoleransi terutama yang bermula dari anggapan-anggapan atas sebuah cerita yang didengungkan terus menerus.

Jika ingin menjadi toleran kita harus mau berinteraksi dengan orang lain yang mungkin berbeda sekali dengan kita. Tak jarang setelah berkenalan banyak dari kita yang pasti akan menyadari bahwa prasangka di awal kita terhadap orang lain ternyata kurang tepat.


Saatnya berfokus pada hal-hal yang menyatukan daripada hal-hal yang memisahkan kita

Kebersamaan seluruh karyawan

Semakin banyak keberagaman, semakin banyak pula kekayaan bangsa ini. Saya berasal dari suku Jawa dan ada beberapa rekan kerja saya yang juga berasal dari suku yang sama. Sementara lainnya ada yang berasal dari suku Bugis, Banjar, Manggarai, Sunda, Kutai dan Batak. Sebagian dari mereka beragama Islam, Kristen dan 2 orang Katolik. Meskipun kami memilki latar belakang yang berbeda-beda, tapi hal itu bukanlah penghalang bagi kami untuk bisa berada dalam satu ruang yang sama.

Saat bekerja, kemudian memasuki istirahat siang, mereka yang beragama Kristen dan Katolik dengan sukarela akan menawarkan jasa titip membeli makan siang kepada teman yang beragama Islam. Maksudnya agar rekan yang beragama Islam memiliki waktu lebih leluasa dalam menunaikan ibadah shalat dzuhur.

Sebaliknya, ketika ada pekerjaan mendesak dan mengharuskan beberapa karyawan masuk di hari Minggu, para rekan yang beragama Islam dengan sigap akan menawarkan kesediaannya untuk turun kerja meski itu adalah hari libur sehingga tidak mengganggu rekan beragama Kristen yang akan melaksanakan ibadah di Gereja.

Saling bertukar cerita merupakan rutinitas wajib di sela-sela istirahat siang

Melalui sebaris kisah ini, kekuatan bukan milik kami atau mereka, tapi milik semua orang yang telah berhasil menghapus sekat-sekat tak kasat mata. Melalui sebaris kisah ini pula, tak ada lagi narasi “mayoritas” versus “minoritas,” yang ada hanya Indonesia, sebab kami telah menyatu dan mengisi sela-sela ruang hingga tak bersekat.

Kita memiliki lebih banyak kesamaan dari yang mungkin kita pikirkan, ini hanya perkara ketidakmampuan kita dalam mengenali. Karena itu mari kita habiskan lebih banyak waktu untuk berfokus pada hal-hal yang dapat menyatukan kita daripada hal-hal yang dapat memisahkan kita. Saya tahu ini tidak mudah, tapi bersama-sama kita pasti bisa membuatnya berhasil.