Itulah salah satu monolog yang
diberikan oleh Tyrion Lannister dalam seri terakhir Game of Thrones. Itu juga menjadi kalimat terbaik yang pernah saya
dengar tentang topik bercerita. Di mana kekuatan sebuah cerita mampu menjadi
mitos dasar yang hebat, bahkan tak jarang seseorang rela mengorbankan segala
hal demi cerita yang dipercayainya kan?
Kekuatan sebuah cerita telah
ditunjukkan dan berlangsung selama berabad-abad. Sedari kecil saya telah
diceritakan tentang banyak hal baik dan buruk serta mana hal yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Pengetahuan, adat-istiadat, dan norma atau kode etik
telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui cerita lisan
bahkan jauh sebelum keberadaan cerita tertulis.
Indonesia, belahan bumi yang kita
pijaki ini merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, agama,
ras dan budaya. Setiap cerita individu seperti seulas warna, dan cerita dari
seluruh budaya akan membentuk warna-warni bak pelangi yang indah. Cerita kolektif
dari semua budaya yang membentuk pelangi tadi akan menghadirkan pemandangan
yang mempesona dan mampu menarik pandangan semua orang pada satu tujuan yang
sama.
Ketika budaya diterima lalu diserap pada akhirnya akan menjadi sebuah petunjuk atau pandangan hidup yang kita jalani. Sebagai contoh, kita mungkin tidak pernah mengalami rasanya disambar petir, tapi kita semua seolah tahu kalau disambar petir itu rasanya seperti terkena setrum jutaan volt. Karena apa? Ya, tentu karena sebuah cerita kan?
Sebagai manusia yang kecanduan
cerita, saya pun menghabiskan hari-hari untuk menceritakan kisah saya sendiri
maupun mendengarkan cerita orang lain. Nah, dalam tulisan ini saya akan
membagikan sebuah cerita yang tumbuh dengan apik di sudut kota dan berhasil
menjuarai pengalaman paling istimewa dalam hidup saya.
Bagaimanakah cerita itu
bermula?
Memulai perjalanan sebagai pengembara di Kota Tepian
![]() |
Sungai Mahakam yang memisahkan antara Samarinda Kota dan Samarinda Seberang |
Saya lahir dan tumbuh di desa Sumber Sari, salah
satu desa di pedalaman Kalimantan Timur. Perjalanan itu dimulai usai saya
menyelesaikan pendidikan SMA lalu muncul dorongan untuk melanjutkan pendidikan di kota. Terhitung sudah 6 tahun sejak 2015 hingga kini saya telah membawa
langkah kaki ini bergerak sebagai seorang perantau dan tinggal berjauhan dengan
saudara dan orangtua.
Samarinda atau yang dikenal dengan Kota Tepian
menjadi pilihan saya kala itu. Dijuluki Kota Tepian karena letaknya yang
dilewati oleh Sungai Mahakam yang merupakan salah satu sungai terpanjang di
Indonesia. Karena dilewati oleh sungai, Samarinda terbagi menjadi dua wilayah
yaitu wilayah Samarinda seberang dan wilayah Samarinda kota atau cukup
disingkat dengan sebutan samseb dan samkot.
Untuk menuju masing-masing wilayah tentu harus
melewati sebuah jembatan. Dan jika
dahulu hanya satu jembatan, kini daerah samseb dan samkot telah dihubungkan
dengan sepasang jembatan yang letaknya berdampingan sehingga dikenal dengan
sebutan jembatan kembar.
Bisa dibilang Kalimantan Timur merupakan pusatnya
daerah rantau. Sebab, selain suku Dayak dan Kutai sebagai penduduk asli, para
pendatang dari berbagai daerah kini turut memenuhi daratan di seluruh wilayah baik perkotaan
maupun pedesaan Kaltim.
![]() |
Bangunan megah rumah ibadah umat Kristiani dan Muslim di Jl. Jend. Sudirman |
Di Kota Tepian sendiri masyarakat dari berbagai
suku, budaya dan agama saling membaur dan hidup berdampingan satu sama lain. Bahkan
banyak di antaranya yang sulit membedakan mana masyarakat suku Jawa, Banjar, Bugis,
Toraja dan lain sebagainya. Ketika ditanya pun banyak dari mereka yang
kesulitan menentukan jenis sukunya. Salah satu teman saya bahkan kerap
menyatakan dirinya sebagai suku Baja (Banjar-Jawa) sebab orangtuanya berasal
dari dua suku yang berbeda. Ada pula yang menyatakan dirinya sebagai suku
Dabuja (Dayak-Bugis-Jawa).
Yah, walaupun hanya dalam konteks bercanda, karena pada
akhirnya mereka akan menyebutkan satu jenis suku yang paling dominan pada
dirinya atau jika ingin lebih mudahnya lagi mereka cukup menyatakan “saya
Indonesia.”
Di tengah Kota Tepian ini saya seperti menyelam lalu
menemukan hal-hal menarik di setiap kecipak air yang saya lalui.
Bisakah toleransi
tumbuh tanpa harus dipaksakan dan memaksakan?
Singkatnya setelah menyelesaikan pendidikan saya
diterima bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Dan
di sinilah tempat kami dipertemukan. Saya dengan rekan kerja yang berasal dari
berbagai suku, budaya dan agama.
![]() |
Dari kanan Enu, Afni, dan Nasri |
Salah satunya adalah mereka yang berasal dari
Kabupaten Manggarai, sebuah wilayah di Pulai Flores, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, mendarat ke Kota Tepian dengan tujuan untuk mencari kehidupan yang lebih
baik.
Sama seperti yang saya rasakan, pada awalnya keputusan meninggalkan kehidupan bersama keluarga dan teman di kampung halaman merupakan pilihan yang sulit. Namun, kehidupan merantau ternyata tidak semenyeramkan yang dibayangkan. Bahkan sebagian orang justru menikmati kehidupan baru yang menyenangkan. Meski tidak dapat dipungkiri, suka duka kerap muncul terlebih lagi bagi mereka yang berasal dari pulau yang begitu jauh.
![]() |
Suasana ketika menunggu banjir surut |
Salah satunya adalah ketika Kota Tepian diguyur hujan deras hingga menyebabkan banjir. Akses jalan terputus, barang-barang dan kontrakan terendam air sehingga tidak memungkinkan untuk ditinggali. Mendadak teman-teman lain dengan sukarela akan menawarkan tempat peristirahatan sementara sembari menunggu banjir kembali surut.
Suatu ketika saya pun pernah terjebak banjir hingga
nyaris hanyut bersama motor yang saya kendarai akibat derasnya arus yang
mengalir. Tidak sampai disitu, motor yang saya kendarai tadi pun mogok. Dibantu
beberapa orang saya berjuang mendorong motor hingga ke tepi. Di saat itulah
saya menelepon salah satu rekan saya berharap ada yang bisa membantu. Dan tanpa
disangka, tidak hanya satu orang, mereka datang bak segerombolan pahlawan yang
siap berperang.
Jadi bukankah rasa peduli bisa muncul dari siapa
saja dan kepada siapa saja? Salah satu wujud dari toleransi itu telah tumbuh tanpa
dipaksakan dan memaksakan. Sebab, tanpa memandang latar belakang rasa peduli
itu rupanya telah bersemi dengan sendirinya di tengah-tengah kita.
Tak kenal maka tak sayang: obat mujarab untuk memutus rantai
intoleransi
![]() |
Kebersamaan segenap perusahaan |
Pada moment-moment tertentu, Bapak dan Ibu, sebutan kami untuk atasan, mengungkapkan bahwa selalu menyenangkan melihat keragaman yang ada di perusahaan ini. Bapak dan Ibu sangat bersyukur memiliki begitu banyak karyawan yang pekerja keras hingga menjadikan perusahaan semakin lebih baik setiap harinya.
Kebetulan atasan saya merupakan sepasang suami istri
keturunan Chinese. Tak dapat
dipungkiri, mengetahui hal itu pada awalnya membuat kedua orangtua saya agak
terkejut. Meskipun tidak mengatakan apa-apa tetapi saya bisa merasakan bahwa
prasangka negatif memang masih mengakar di sebagian pikiran masyarakat
Indonesia. Seperti anggapan bahwa mayoritas masyarakat yang berasal dari
keturunan Chinese sangat perhitungan.
Lagi-lagi ini adalah wujud nyata dari kekuatan sebuah
cerita. Sebuah cerita dapat menyatukan perbedaan, namun di satu sisi sebuah
cerita juga dapat memisahkan satu sama lain. Merupakan hal yang wajar ketika
manusia memiliki penilaian antar sesamanya, namun yang menjadi masalah adalah
bagaimana jika penilaian itu negatif yang kemudian bakal menimbulkan
diskriminasi? Padahal, orang yang memiliki prasangka buruk itu tadi belum tentu
mengenal sosok yang mereka nilai tersebut.
Ada satu kejadian yang paling saya ingat tentang
kedermawanan Bapak dan Ibu. Suatu ketika ada satu orang yang berasal dari Timor
bernama Berto melamar pekerjaan di perusahaan kami. Namun sangat disayangkan
karena Berto tidak fasih berbicara dengan bahasa Indonesia. Bapak dan Ibu pun sangat
kesulitan untuk mengerti maksudnya kala itu. Alhasil beliau meminta salah satu
karyawan yang berasal dari satu suku dengan Berto untuk menjadi translator mereka. Dan tanpa saya sangka
Berto diterima bekerja sebagai helper
di perusahaan kami. Bapak dan Ibu berpesan kepada kami untuk sering-sering
mengajaknya berinteraksi agar Berto cepat menguasai bahasa Indonesia sehingga
lebih mudah jika ingin berkomunikasi.
Melihat kejadian tersebut, saya pun langsung
terpikir pada satu peribahasa, “Tak kenal maka tak sayang.” Kalimat itu sudah
populer sejak dulu, bahkan mungkin sudah sering kita baca dan dengar
berulangkali. Peribahasa tersebut adalah obat mujarab untuk memutus rantai
intoleransi terutama yang bermula dari anggapan-anggapan atas sebuah cerita
yang didengungkan terus menerus.
Jika ingin menjadi toleran kita harus mau
berinteraksi dengan orang lain yang mungkin berbeda sekali dengan kita. Tak jarang
setelah berkenalan banyak dari kita yang pasti akan menyadari bahwa prasangka
di awal kita terhadap orang lain ternyata kurang tepat.
Saatnya berfokus pada hal-hal yang menyatukan daripada hal-hal yang memisahkan kita
![]() |
Kebersamaan seluruh karyawan |
Semakin banyak keberagaman, semakin banyak pula kekayaan bangsa ini. Saya berasal dari suku Jawa dan ada beberapa rekan kerja saya yang juga berasal dari suku yang sama. Sementara lainnya ada yang
berasal dari suku Bugis, Banjar, Manggarai, Sunda, Kutai dan Batak. Sebagian
dari mereka beragama Islam, Kristen dan 2 orang Katolik. Meskipun kami memilki
latar belakang yang berbeda-beda, tapi hal itu bukanlah penghalang bagi kami untuk bisa berada dalam satu ruang yang sama.
Saat bekerja, kemudian memasuki istirahat siang,
mereka yang beragama Kristen dan Katolik dengan sukarela akan menawarkan jasa
titip membeli makan siang kepada teman yang beragama Islam. Maksudnya agar rekan
yang beragama Islam memiliki waktu lebih leluasa dalam menunaikan ibadah shalat
dzuhur.
Sebaliknya, ketika ada pekerjaan mendesak dan
mengharuskan beberapa karyawan masuk di hari Minggu, para rekan yang beragama Islam dengan sigap akan menawarkan kesediaannya untuk turun kerja meski itu
adalah hari libur sehingga tidak mengganggu rekan beragama Kristen yang akan
melaksanakan ibadah di Gereja.
![]() |
Saling bertukar cerita merupakan rutinitas wajib di sela-sela istirahat siang |
Melalui sebaris kisah ini, kekuatan bukan milik kami
atau mereka, tapi milik semua orang yang telah berhasil menghapus sekat-sekat tak
kasat mata. Melalui sebaris kisah ini pula, tak ada lagi narasi “mayoritas”
versus “minoritas,” yang ada hanya Indonesia, sebab kami telah menyatu dan
mengisi sela-sela ruang hingga tak bersekat.
Kita memiliki lebih banyak kesamaan dari yang mungkin kita pikirkan, ini hanya perkara ketidakmampuan kita dalam mengenali. Karena itu mari kita habiskan lebih banyak waktu untuk berfokus pada hal-hal yang dapat menyatukan kita daripada hal-hal yang dapat memisahkan kita. Saya tahu ini tidak mudah, tapi bersama-sama kita pasti bisa membuatnya berhasil.