Mar 29, 2025

Ramadhan Perpisahan


Mika masih berdiri kaku di atas dua kaki yang bergetar sesaat sebelum dinding-dinding kamar yang mulai retak berhasil mengambil alih kesadarannya.

Wajah Mika kian memucat, mendapati kamarnya kini sudah tak lagi berbentuk. Serpihan kaca berserakan di mana-mana, barang-barang berhamburan, belum lagi suara keras benda-benda yang saling berjatuhan seolah berlomba-lomba menimbun lantai kamarnya.

Lalu tiba-tiba Mika memekik saat sebuah lemari tiba-tiba ambruk nyaris menimpa tubuhnya. Menganggap  itu sebuah gertakan untuknya, Mika segera berlari secepat yang ia bisa, menjauhkan diri dari mara bahaya apapun yang berusaha menyerbunya.

Tapi siapa sangka jika keadaan di luar pun tak kalah kacaunya. Getaran hebat di atas tanah yang Mika pijak, membuatnya tak lagi sanggup bergerak meski hanya sekedar mengayunkan kaki.

Gadis yang kini jatuh terduduk itu hanya bisa menjerit histeris di tempatnya.

Dan jeritan keras Mika yang terdengar, sudah cukup membuktikan seberapa besar gadis itu merasa ketakutan. Semakin ketakutan lagi ia dibuatnya saat sebuah pohon besar tiba-tiba saja tumbang. Menimpa tubuhnya sekejab lagi.

Siapapun itu tolong, batinnya berbisik lirih.

Mika hanya berdiam pasrah, tak ada lagi yang bisa gadis itu lakukan selain memejamkan mata dengan kedua tangan membungkus kepala.

***

“SAHUR… SAHUR… SAHUR…”

Mika terbelalak lebar. Birunya langit-langit kamar seketika menjadi penyambut kala ia membuka mata. Napas Mika memburu, jantungnya berdegup kencang. Tanpa diperintah kedua bola mata Mika otomatis berputar memperhatikan sekeliling, memeriksa keseluruhan kamarnya.

Tak ada yang berubah. Semuanya masih sama.

Dilihatnya pintu kamar tertutup. Bingkai-bingkai foto miliknya masih tertempel rapi di dinding. Buku-buku, tas, laptop, sepatu dan semua barang-barang lainnya tetap berada pada tempatnya. Televisi yang lupa ia matikan pun masih menyala dan malah menampilkan tayangan iklan buka lapak kini.

Mika terduduk seiring dengan tarikan napasnya yang kembali normal, tetapi tidak dengan jantungnya yang masih menyisakan degupan-degupan ringan. Mika mengusap wajahnya, menahan kedua telapak tangannya untuk beberapa saat di sana.

Sekali lagi Mika memejamkan mata, hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terjadi tadi tidak lebih dari sekedar mimpi.

Hanya mimpi.

Tanpa sadar Mika menghembuskan napas lega. Huhh… untung cuma mimpi, batinnya seraya mengelus dada.

Setelah itu Mika mendongak, melihat jam yang tertempel di sudut ruangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 3. Pantas saja suara ‘sahur-sahur’ sudah mengudara di mana-mana. Mendengarnya membuat Mika terkekeh kecil.

Sepertinya ia harus mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada suara sahur-sahur. Ahh, ralat! Maksud Mika di sini adalah orang yang mengumandangkannya. Karena jika tidak ada orang itu, mungkin saja Mika sudah tertindas batang pohon saat ini.

Oh ayolah… Siapa pun itu pasti tidak ingin dirinya berubah jadi rempeyek bukan?

Setelah dirasa cukup lama berdiam, Mika segera bangkit dari kasur lalu bergegas ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air keran hingga berkali-kali, berharap rasa kantuknya hilang, juga bayangan akan mimpi buruknya bisa terhapus. Ck, Mika berdecak. Andai saja menghapus mim-

Eh!

Tunggu… tunggu.

Berbicara tentang mimpi buruknya, kenapa Mika jadi teringat perkataan Elma?

***

Flashback

“Eh, bukber di Masjid enak tau.”

Mika menghentikan aktivitas bermain ponselnya sejenak. Kepalanya menoleh ke samping. “Enak kenapa, Mbar? Banyak makanan, kah, emangnya?” tipikal Mika sekali, tak butuh berbasa-basi dalam hal bertanya.

 “Iya,” Ambar mengangguk. Posisi duduknya yang berada di barisan depan mengharuskannya berbalik untuk bisa menatap Mika. “Sayang banget tau, menunya banyak tapi yang datang cuma sedikit.”

"Masjid mana, sih, Mbar? Kampus kita, kah?” tanya Halim ikut menimpali. Beberapa anak lainnya juga terlihat menyimak percakapan mereka.

 Iya,” lagi-lagi Ambar mengangguk. Perhatian gadis itu kini teralih pada teman-teman sekelasnya. “Makanya kalian juga datang. Kita masih lama loh di sini. Tanggal 14 baru selesai ujian. Lumayan, tuh, buat yang anak kos, bisa sekalian berhemat.”

 Habis makan langsung pulang ngga papa, kah, Mbar?”

Pertanyaan Mika yang kelewat jujur nyatanya mampu mengundang gelak tawa beberapa orang yang mendengarnya.

Saat ini mereka memang sedang berada di kelas. Sembari menunggu dosen untuk mata kuliah berikutnya, merupakan hal yang lumrah jika di sela-sela waktu yang ada mereka gunakan untuk berbincang-bincang ria. Entah itu membahas topik seputar buka bersama atau apapun itu, setidaknya rasa lapar yang mereka rasakan bisa sejenak teralihkan.

“Nggak papa. Terserah kamu aja.”

“Tapi ngga enak, ahh, Mbar, masa habis tarawih langsung pulang,” kekeh Mika pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Aku jarang tarawih. Males. Capek.  Apalagi kalo sebelum tarawih ceramah dulu, aihh… bikin tambah lama.”

“Astagfirullahhalazim.” Elma yang sedari tadi hanya diam menyimak, tiba-tiba menoleh ke arah Mika. “Padahal shalat tarawih itu banyak banget, loh, manfaatnya. Setiap malamnya juga punya keutamaan yang berbeda-beda. Salah satunya bisa diampuni dosa-dosa kita, dosa orangtua kita,” jelasnya. “Makanya sayang banget, kan, kalo dilewatin? Iya kalo ramadhan tahun depan kita masih ada.”

Mika seketika terdiam, tak tau harus merespon seperti apa. Alhasil ia hanya berdeham-dehem pelan lantas kembali menari-narikan dua jempolnnya, berpura-pura sibuk dengan ponsel di genggaman tangan.

                                                                    ***            

“Mbak, Mal,” teriak Mika dari depan pintu kamar. “Mau ke mana? Udah mau berangkat tarawih?” tanyanya.

“Iy-“

Sebelum sempat Mala menyelesaikan ucapannya, Mika sudah lebih memotong. “Tunggu Mba, Mal. Aku ikut. Aku ambil mukena dulu bentar. Bentar aja,” ucap Mika sebelum kemudian menghilang di balik pintu.

Mala, atau yang kerap kali Mika panggil dengan sebutan Mba Mal, merupakan salah satu teman satu kos Mika. Atau sebut saja Mala kakak tingkat. Selain karena usia  mereka yang berbeda dua tahun, tetapi karena memang Mala saat ini sudah menempuh semester 6 kuliahnya, sedangkan Mika masih menginjak di semester 2.

“Udah wudhu belum?” tanya Mala memastikan. Ia menatap Mika yang berlari menghampirinya dengan tergesa-gesa.

“Udah, Mba.”

Mala berdecak. “Pegang!” Ia menyorongkan tas mukena miliknya untuk Mika bawa, lantas kedua tangannya terulur merapikan jilbab yang Mika kenakan agar tidak terkesan asal-asalan saat dilihat. “Ini juga. Tumben-tumbenan mau tarawih, biasanya juga kalo di ajak suka males-malesan,” omelnya pelan.

Meski begitu, tak urung juga Mala tetap menggandeng Mika untuk mempercepat langkahnya. Adzan isya sudah berkumandang di Masjid, seolah memanggil mereka agar datang segera.

***

Hari-hari berikutnya Mika masih menjalani ramadhan seperti biasa. Hanya saja ada yang berbeda dari Mika. Jika di hari-hari sebelumnya ia menjalani puasa hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban, maka tidak lagi untuk saat ini.

Seperti kemarin, Mika mengajak Mba Malanya  untuk menunaikan shalat terawih di Islamic Center.

Mala yang memang sudah tahu seperti apa sosok seorang Mika jelas saja ia terheran-heran. “Tumben? Biasanya juga kamu kalo tarawih hobinya cari masjid yang bacaannya shalatnya cepet selesai.”

Mika sudah jelas mencebikkan bibirnya saat dirinya dikatai seperti, tapi tak lama kemudian gadis itu malah tersenyum lebar. “Ngga papa dong, Mba Mal. Tahun-tahun sebelumnya, kan, aku suka pindah-pindah masjid karena cari yang bacaan shalatnya cepat selesai. Nah, berarti tahun ini aku pindah-pindah masjid karena cari bacaan shalat yang paling sempurna.”

“Kamu loh awal-awal puasa hari itu ngga pernah tarawih.”

Dan Mika berhasil mencebik kembali dibuatnya.

Selain itu, satu hal lagi yang paling Mika ingat. Jika tahun lalu ia semangat sekali menghatamkan Al-Qur’an hingga beberapa kali, maka tahun ini ia akan menjadikan hataman Al-Qurannya sebagai hataman yang paling dipahami dan diamalkan isinya. Meski Mika sendiri tidak yakin apakah ramadhan tahun ini ia bisa menghatamkan Al-Qur’an atau tidak, di bulan ramadhan yang tinggal tersisa beberapa hari lagi.

Sebenarnya bukan tanpa sebab Mika banyak mengalami perubahan seperti ini.

Makanya sayang banget kan kalo dilewatin? Iya kalo ramadhan tahun depan kita masih ada

Tak ada yang tahu jika perkataan Elma hari itu bisa memberikan efek hingga demikian padanya. Awalnya Mika memang hanya mengabaikannya saja, ia tak terlalu memikirkan tentang itu. Tapi jika teringat mimpi buruk yang pernah menimpanya tempo hari, jujur Mika jadi takut sendiri dibuatnya.

Bisa di bilang sejak saat itulah pola pikir Mika akhirnya berubah. Selayaknya kalimat “jika ini ramadhan terakhirku” perasaan seperti itu Mika tanamkan dalam dirinya. Supaya mendorong dirinya untuk terus berbuat baik, banyak melakukan amal-amal soleh, tidak tergoda dengan pikiran apa yang akan dilakukan besok, lusa maupun seterusnya.

Karena terkadang… bayangan akan perpisahan dapat mendorong diri kita untuk menjadi lebih giat, bukan?