Mika masih berdiri kaku di atas dua kaki yang bergetar sesaat sebelum dinding-dinding kamar yang mulai retak berhasil mengambil alih kesadarannya.
Wajah Mika kian memucat, mendapati
kamarnya kini sudah tak lagi berbentuk. Serpihan kaca berserakan di mana-mana, barang-barang
berhamburan, belum lagi suara keras benda-benda yang saling berjatuhan seolah
berlomba-lomba menimbun lantai kamarnya.
Lalu tiba-tiba Mika memekik saat sebuah lemari tiba-tiba
ambruk nyaris menimpa tubuhnya. Menganggap
itu sebuah gertakan untuknya, Mika segera berlari secepat yang ia bisa,
menjauhkan diri dari mara bahaya apapun yang berusaha menyerbunya.
Tapi siapa sangka jika keadaan di luar pun tak kalah
kacaunya. Getaran hebat di atas tanah yang Mika pijak, membuatnya tak lagi
sanggup bergerak meski hanya sekedar mengayunkan kaki.
Gadis yang kini jatuh terduduk itu hanya bisa menjerit
histeris di tempatnya.
Dan jeritan keras Mika yang terdengar, sudah cukup membuktikan
seberapa besar gadis itu merasa ketakutan. Semakin ketakutan lagi ia dibuatnya saat
sebuah pohon besar tiba-tiba saja tumbang. Menimpa tubuhnya sekejab lagi.
Siapapun itu tolong, batinnya
berbisik lirih.
Mika hanya berdiam pasrah, tak ada lagi yang bisa gadis itu lakukan selain memejamkan mata dengan kedua tangan membungkus kepala.
***
“SAHUR… SAHUR…
SAHUR…”
Mika terbelalak lebar. Birunya langit-langit kamar seketika menjadi
penyambut kala ia membuka mata. Napas Mika memburu, jantungnya berdegup
kencang. Tanpa diperintah kedua bola mata Mika otomatis berputar memperhatikan
sekeliling, memeriksa keseluruhan kamarnya.
Tak ada yang berubah. Semuanya masih sama.
Dilihatnya pintu kamar tertutup. Bingkai-bingkai foto
miliknya masih tertempel rapi di dinding. Buku-buku, tas, laptop, sepatu dan
semua barang-barang lainnya tetap berada pada tempatnya. Televisi yang lupa ia
matikan pun masih menyala dan malah menampilkan tayangan iklan buka lapak kini.
Mika terduduk seiring dengan tarikan napasnya yang kembali
normal, tetapi tidak dengan jantungnya yang masih menyisakan degupan-degupan
ringan. Mika mengusap wajahnya, menahan kedua telapak tangannya untuk beberapa
saat di sana.
Sekali lagi Mika memejamkan mata, hanya untuk meyakinkan
dirinya sendiri bahwa apa yang terjadi tadi tidak lebih dari sekedar mimpi.
Hanya mimpi.
Tanpa sadar Mika menghembuskan napas lega. Huhh… untung cuma mimpi, batinnya seraya
mengelus dada.
Setelah itu Mika mendongak, melihat jam yang tertempel di
sudut ruangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 3. Pantas saja suara ‘sahur-sahur’
sudah mengudara di mana-mana. Mendengarnya membuat Mika terkekeh kecil.
Sepertinya ia harus mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada
suara sahur-sahur. Ahh, ralat! Maksud Mika di sini adalah orang yang mengumandangkannya.
Karena jika tidak ada orang itu, mungkin saja Mika sudah tertindas batang pohon
saat ini.
Oh ayolah… Siapa pun itu pasti tidak ingin dirinya berubah
jadi rempeyek bukan?
Setelah dirasa cukup lama berdiam, Mika segera bangkit dari
kasur lalu bergegas ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air keran hingga
berkali-kali, berharap rasa kantuknya hilang, juga bayangan akan mimpi buruknya
bisa terhapus. Ck, Mika berdecak. Andai
saja menghapus mim-
Eh!
Tunggu… tunggu.
Berbicara tentang mimpi buruknya, kenapa Mika jadi teringat
perkataan Elma?
***
Flashback
“Eh, bukber di Masjid enak
tau.”
Mika menghentikan
aktivitas bermain ponselnya sejenak. Kepalanya menoleh ke samping. “Enak kenapa,
Mbar? Banyak makanan, kah, emangnya?” tipikal Mika sekali, tak butuh berbasa-basi
dalam hal bertanya.
“Iya,” Ambar mengangguk. Posisi duduknya yang berada di barisan depan mengharuskannya berbalik untuk bisa menatap Mika. “Sayang banget tau, menunya banyak tapi yang datang cuma sedikit.”
"Masjid mana, sih, Mbar? Kampus kita, kah?” tanya Halim ikut menimpali. Beberapa anak lainnya juga terlihat menyimak percakapan mereka.
Iya,” lagi-lagi Ambar mengangguk. Perhatian
gadis itu kini teralih pada teman-teman sekelasnya. “Makanya kalian juga
datang. Kita masih lama loh di sini. Tanggal 14 baru selesai ujian. Lumayan,
tuh, buat yang anak kos, bisa sekalian berhemat.”
Habis makan langsung pulang ngga papa, kah,
Mbar?”
Pertanyaan Mika yang
kelewat jujur nyatanya mampu mengundang gelak tawa beberapa orang yang
mendengarnya.
Saat ini mereka memang sedang berada di kelas.
Sembari menunggu dosen untuk mata kuliah berikutnya, merupakan hal yang lumrah
jika di sela-sela waktu yang ada mereka gunakan untuk berbincang-bincang ria.
Entah itu membahas topik seputar buka bersama atau apapun itu, setidaknya rasa
lapar yang mereka rasakan bisa sejenak teralihkan.
“Nggak papa. Terserah
kamu aja.”
“Tapi ngga enak, ahh, Mbar, masa habis tarawih langsung pulang,” kekeh Mika pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Aku jarang tarawih. Males. Capek. Apalagi kalo sebelum tarawih ceramah dulu, aihh… bikin tambah lama.”
“Astagfirullahhalazim.” Elma yang sedari tadi hanya diam menyimak, tiba-tiba menoleh ke arah Mika. “Padahal shalat tarawih itu banyak banget, loh, manfaatnya. Setiap malamnya juga punya keutamaan yang berbeda-beda. Salah satunya bisa diampuni dosa-dosa kita, dosa orangtua kita,” jelasnya. “Makanya sayang banget, kan, kalo dilewatin? Iya kalo ramadhan tahun depan kita masih ada.”
Mika seketika terdiam,
tak tau harus merespon seperti apa. Alhasil ia hanya berdeham-dehem pelan
lantas kembali menari-narikan dua jempolnnya, berpura-pura sibuk dengan ponsel
di genggaman tangan.
***
“Mbak, Mal,” teriak Mika dari depan pintu kamar. “Mau ke
mana? Udah mau berangkat tarawih?” tanyanya.
“Iy-“
Sebelum sempat Mala menyelesaikan ucapannya, Mika sudah lebih
memotong. “Tunggu Mba, Mal. Aku ikut. Aku ambil mukena dulu bentar. Bentar aja,”
ucap Mika sebelum kemudian menghilang di balik pintu.
Mala, atau yang kerap kali Mika panggil dengan sebutan Mba
Mal, merupakan salah satu teman satu kos Mika. Atau sebut saja Mala kakak
tingkat. Selain karena usia mereka yang
berbeda dua tahun, tetapi karena memang Mala saat ini sudah menempuh semester 6
kuliahnya, sedangkan Mika masih menginjak di semester 2.
“Udah wudhu belum?” tanya Mala memastikan. Ia menatap Mika
yang berlari menghampirinya dengan tergesa-gesa.
“Udah, Mba.”
Mala berdecak. “Pegang!” Ia menyorongkan tas mukena miliknya
untuk Mika bawa, lantas kedua tangannya terulur merapikan jilbab yang Mika
kenakan agar tidak terkesan asal-asalan saat dilihat. “Ini juga.
Tumben-tumbenan mau tarawih, biasanya juga kalo di ajak suka males-malesan,” omelnya
pelan.
Meski begitu, tak urung juga Mala tetap menggandeng Mika
untuk mempercepat langkahnya. Adzan isya sudah berkumandang di Masjid, seolah memanggil
mereka agar datang segera.
***
Hari-hari berikutnya Mika masih menjalani ramadhan seperti biasa.
Hanya saja ada yang berbeda dari Mika. Jika di hari-hari sebelumnya ia
menjalani puasa hanya
sebatas untuk menggugurkan kewajiban, maka tidak lagi untuk saat ini.
Seperti kemarin, Mika mengajak Mba Malanya untuk menunaikan shalat terawih di Islamic
Center.
Mala yang memang sudah tahu seperti apa sosok seorang Mika
jelas saja ia terheran-heran. “Tumben? Biasanya juga kamu kalo tarawih hobinya
cari masjid yang bacaannya shalatnya cepet selesai.”
Mika sudah jelas mencebikkan bibirnya saat dirinya dikatai
seperti, tapi tak lama kemudian gadis itu malah tersenyum lebar. “Ngga papa
dong, Mba Mal. Tahun-tahun sebelumnya, kan, aku suka pindah-pindah masjid
karena cari yang bacaan shalatnya cepat selesai. Nah, berarti tahun ini aku
pindah-pindah masjid karena cari bacaan shalat yang paling sempurna.”
“Kamu loh awal-awal puasa hari itu ngga pernah tarawih.”
Dan Mika berhasil mencebik kembali dibuatnya.
Selain itu, satu hal lagi yang paling Mika ingat. Jika tahun
lalu ia semangat sekali menghatamkan Al-Qur’an hingga beberapa kali, maka tahun
ini ia akan menjadikan hataman Al-Qurannya sebagai hataman yang paling dipahami
dan diamalkan isinya. Meski Mika sendiri tidak yakin apakah ramadhan tahun ini
ia bisa menghatamkan Al-Qur’an atau tidak, di bulan ramadhan yang tinggal
tersisa beberapa hari lagi.
Sebenarnya bukan tanpa sebab Mika banyak mengalami perubahan
seperti ini.
Makanya sayang banget
kan kalo dilewatin? Iya kalo ramadhan tahun depan kita masih ada
Tak ada yang tahu jika perkataan Elma hari itu bisa
memberikan efek hingga demikian padanya. Awalnya Mika memang hanya
mengabaikannya saja, ia tak terlalu memikirkan tentang itu. Tapi jika teringat
mimpi buruk yang pernah menimpanya tempo hari, jujur Mika jadi takut sendiri
dibuatnya.
Bisa di bilang sejak saat itulah pola pikir Mika akhirnya
berubah. Selayaknya kalimat “jika ini ramadhan terakhirku” perasaan seperti itu
Mika tanamkan dalam dirinya. Supaya mendorong dirinya untuk terus berbuat baik,
banyak melakukan amal-amal soleh, tidak tergoda dengan pikiran apa yang akan
dilakukan besok, lusa maupun seterusnya.
Karena terkadang… bayangan akan perpisahan dapat mendorong
diri kita untuk menjadi lebih giat, bukan?